Semoga Allah Mengampuniku dan Dirimu

Saudaraku, Menyirami api kemarahan itu tidak sederhana. Menenangkan diri untuk tidak bereaksi spontan, tidak melakukan pembalasan terhadap penghinaan, tidak melampiaskan kebencian atas rasa sakit, kepada orang yang menghina dan menyakiti, itu tidak mudah. Itulah sebabnya Rasulullah saw menggarisbawahi, “Orang yang kuat itu bukan orang menang dalam bergulat. Tapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.”

Bagaimana orang-orang shalih mempraktekkan sabda Rasulullah saw tersebut? Bagaimana kemampuan mereka menjaga dan menahan diri dari kemarahan yang umumnya bisa membakar? Ibnul Jauzi dalam kitab Shifatu Shafwah menuturkan kisah tentang tenangnya orang-orang shalih dalam menyikapi kondisi yang seharusnya membuat jiwa bergolak. Ia menuliskan, “Seseorang datang kepada Ali bin Husein bin Ali radhiyallahu anhum ajma’in. “Wahai Ali bin Husein, seseorang telah menyakitimu dan menginjak kehormatanmu.” Ali bin Husein mendengarkan perkataan orang itu lalu terdiam. Tapi itu tidak lama, Ali bin Husein tiba-tiba mengatakan sesuatu yang mengejutkan si pemberi informasi. “Bawa saya kepada orang tersebut…” Katanya.

Si pemberi informasi menduga, Ali bin Husein akan melakukan pembalasan atas orang yang telah menghina dan mencaci dirinya. Ali bin Husein akan balik menyakiti, mencaci dan menghinanya lebih dari apa yang telah dilakukan orang tersebut atas dirinya.”

Saudaraku, Banyak sekali di antara kita yang sejalan dengan dugaan si pemberi informasin tadi. Kejahatan dibalas dengan kejahatan. Penghinaan berbalas penghinaan yang lebih menyakitkan. Tapi yang dilakukan oleh Ali bin Husein tidak begitu. Ia justru meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju rumah orang yang menyakitinya. Lalu, saat ia bertemu dengan orang yang menyakiti dan menghinanya, Ali bin Husein berkata, ” Jika apa yang engkau katakan tentang diriku itu benar, aku berharap Allah mengampuni kesalahanku itu. Tapi jika apa yang engkau katakan tentang diriku itu tidak benar, semoga Allah mengampunimu…”

Saudaraku, Lihatlah bagaimana kemampuan Ali bin Husein radhiyallahu anhum, menguasai gejolak jiwanya ketika itu. Perhatikanlah bagaimana seseorang bisa tetap menahan lidah, menahan diri untuk berbicara, bahkan bisa mengeluarkan kata-kata yang bergitu baik untuk seseorang yang telah menyakitinya. Sikap seperti ini pasti sangat sulit dilakukan, dan bila dilakukan, itu sebenarnya seperti menyingkap karakter asli yang luar biasa dari kepribadian seseorang. Dan itulah hasil dari pendidikan Islam.

Tenang menyikapi hempasan gelombang tuduhan. Menahan diri menghadapi pukulan yang menyakitkan. Bergeming menghadapi kedzaliman terhadap dirinya. Datang kepada orang yang menuduh, memukul dan mendzalimi. Mengetuk pintu rumahnya, dan mengatakan, “Saudaraku, jika apa yang kau katakan tentang diriku itu benar, aku berharap Allah mengampuni kesalahanku itu. Tapi jika apa yang engkau katakankatakan tentang diriku itu tidak benar, semoga Allah mengampunimu…” Ali bin Husein lalu pulang. Dan, ternyata orang yang melontarkan tuduhan itu berlari dan mengejarnya. Ia mengatakan, “Tidak benar wahai Ali, Aku tidak akan mengulangi melakukan apa yang engkau tidak suka.”

Saudaraku, Kita bisa lebih banyak lagi memperhatikan dan merenungkan keistimewaan salafu shalih dalam mketangguhan jiwa mereka menghadapi api amarah yang biasanya membakar seseorang. Dua orang sahabat Rasulullah saw, Khalid bin Walif dan Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhum pernah terlibat perselisihan tajam. Seseorang lalu menyampaikan Khalid kepada Sa’ad. Sa’ad justru mengatakan kalimat pendek kepada orang itu, “Diam, apa yang antara saya dengan Khalid, tidak menyentuh agama kami.”

Saudaraku, Perselisihan yang terjadi di antara kita, pembicaraan keras yang boleh jadi terlontar di antara kita, kebencian yang memunculkan jarak di antara kita, sebenarnya banyak yang tidak memasuki wilayah urusan agama. Maksudnya berbagai permaslahan yang menjadi masalah di antara kita, umumnya tidak mengenai masalah agama. Sehingga bila efeknya sampai menodai kehormatan sesama, mengambil haknya atau bahkan menumpahkan darahnya, tetaplah haram karena dia adalah seorang Muslim. Itulah barangkali yang sangat dipahami oleh Sa’ad bin Abi Waqqas.

Baginya, garis merah permasalahan adalah kehormatan agama, bukan yang lain. Garis merah itulah yang tidak boleh dilanggar dalam kondisi apapun. Garis merah itulah yang menjadi pembatas setiap orang untuk bisa bersikap. Garis merah itulah yang sebenarnya merupakan batas pemeliharaan hak bersaudara sesama Muslim.

Itulah sebabnya Sa’ad bin Al Ash merasa sangat khawatir bila sepeninggalnya, anak keturunannya berlaku tidak pantas dengan saudara-saudaranya sesama Muslim. Detik-detik menjelang wafatnya, Sa’ad bin Al Ash berpesan kepada anak-anaknya, ” Anakku, jangan engkau lupakan saudara-saudaraku sepeninggalku. Berlakulah kepada mereka sebagaimana aku berlaku kepada mereka…”

Saudaraku, Perhatikanlah bagaimana perkataan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah kepada para tahanan yang dipenjara bersamanya. “Semoga Allah meridhoi kalian. Saya tidak suka bila ada salah seorang yang disakiti. Apalagi ia adalah salah satu sahabat kita. Saya tidak menyukai kondisi itu, lahir dan batin. Saya tidak mengecam siapapun dari mereka, saya juga tidak akan mengeluarkan kata-kata mencaci mereka. Bagi saya mereka tetap terhormat dan mulia.” (Qawa’id Dzahabiyah fi Al Ukhuwwah Al Islamiyah, Abdullah Farraj Allah)

Ingat saudaraku, Semoga, bila kita mendapatkan fitnah dan tuduhan keras dari seseorang, kita bisa mengatakan padanya dengan tenang, “Jika apa yang engkau katakan tentang diriku itu benar, aku berharap Allah mengampuni kesalahanku itu. Tapi jika apa yang engkau katakan tentang diriku itu tidak benar, semoga Allah mengampunimu.@

Source : Tarbawi Edisi 151-15 Maret 2007

Satu pemikiran pada “Semoga Allah Mengampuniku dan Dirimu

Komentar ditutup.