Karena Kita Muslim

Postingan ini adalah sebuah artikel yang pernah dimuat di sebuah majalah Tarbawi Edisi 111 Th.7/Jumadil Ula 1426 H/23 Juni m005 M. Saya memposting ulang di blog ini untuk mengingatkan kita (kaum Muslimin) akan kebenaran ajaran Islam dan juga agar kita senantiasa banyak bersyukur dengan keislaman kita. Yaitu bersyukur dengan melakukan banyak aksi dan tindakan sebagai konsekuensi serta tanggung jawab atas nikmat keislaman yang diberikan Allah kepada kita.

Teks selengkapnya :

Berislam itu adalah tanggung jawab. Dan tidak ada tanggung jawab yang tanpa konsekuensi. Ketika kita menyatakan diri sebagai Muslim, ada banyak tanggung jawab yang mesti kita pikul, dan di balik tanggung jawab itulah tersimpan banyak konsekuensi yang akan menguji kebenaran Islam di hati kta.
Kita harus banyak bersyukur dengan keislaman kita. Yaitu bersyukur dengan melakukan banyak aksi dan tindakan, seperti beberapa hal berikut ini.

Bangga dengan Keislaman Kita

Betapapun banyak dan hebatnya prestasi hidup kita di dunia ini, tidak ada yang lebih pantas untuk kita banggakan, kecuali karena kita adalah seorang Muslim. Jika kita sadari hal ini, maka semua kenikmatan yang telah kita rasakan tidak ada nilainya dibanding dengan nikmat Islam. Betapa tidak, ini adalah prestasi yang tidak semua manusia mendapatkannya. Hanya mereka yang menerima curahan rahmat dan kasih sayang Allah saja yang merasakannya. Dan Allah swt dengan tegas menyebutkan nbahwa Dia-lah yang menyematkan langsung gelar “muslim” itu kepada kita. Allah berfirman, “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahul, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (QS.Al-Hajj : 78)
Seorang Muslim adalah sosok yang tidak pantas untuk bersedih, bermuram durja, meratap, hanya karena nasibnya di dunia yang mungkin kurang beruntung. Sebab, kita memiliki kekuatan, bahkan sumber kekuatan itu sendiri. Kita punya Allah swt. Kita punya teladan, yaitu Rasulullah saw. Dan kia punya pedoman hidup yang maha benar, Al Qur’an yang mulia. Itulah modal kita sebagai Muslim, yang tidak dimiliki orang lain manapun di dunia ini. Karena itu, wajar jika Allah mengingatkan kita, “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Islam lah yang membuat laki-laki seperti Abdullah bin Mas’ud ra. tidak pernah merasa kecil meskipun fisiknya begitu kecil dan kurus. Bhkan pada peristiwa Badar, dia berani melompati Abu Jahal yang terjatuh, menginjak dadanya, memenggal kepalanya dan membawanya kepada Rasulullah saw, sehingga beliau tersenyum bangga melihat tingkahnya. Islam lah yang menjadikan budak hitam seperti Bilal bin Rabah tidak pernah canggung dan merasa hina ketika berjalan bersama tokoh-tokoh Quraisy seperti Abu Bakar, Umar, Hamzah, dan para sahabat keturunan bangsawan lainnya. Islam lah yang menjadikan kita semua sama di mata Allah dan lebih tinggi dari selain Islam.
Dengan Islam mereka merasa bahwa dunia berada dalam gengaman tangan mereka, betapapu dunia menghimpit mereka dan betapapun rantai-rantai penguasa membelenggu tangan dan kaki mereka. Mereka selalu ceria meskipun dalam penjara. Seperti Ibnu Taimiyah yang menganggap penjara sebagai istana untuk memperbanyak ibadah. Seperti Sayyid Quthub dan Buya Hamka yang menyelesaikan karya monumental mereka di balik jeruji besi. Dan kebahagiaan-kebahagiaan batin yang mereka dapatkan karena mereka Muslim.

Cemas Jika Kita Tidak Termasuk Golongan Orang-Orang Selamat

Harus diingat, bahwa gelar kemusliman yang kita banggakan ini, bukanlah jaminan mutlak bahwa kita akan selamat dari siksa Allah swt. Nereka dan siksaannya masih terus memburu kita seperti ia memburu orang-orang kafir, sehingga kita mampu membentengi diri dengan bekal amal-amal kebaikan.
Untuk itu Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar selalu melakukan perbaikan diri dari waktu ke waktu. Sebagai Muslim harus ada peningkatan dan perbaikan kualitas hidup dibandingkan hari atau waktu sebelumnya. Surga dan kenikmatannya bukanlah hadiah dari Allah, tapi ia adalah ganjaran dari sebuah jerih payah setelah kita menyatakan keislaman, meskipun tidaklah sulit jka Allah berkehendak untuk memebrikannya secara gratis.
Kecemasan orang-orang shalih yang telah mendahului kita, seharusnya menjadi contoh agar kita sadar diri bahwa perjalanan hidup ini haruslah dilalui dengan mencari dan mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya. Yaitu ketakwaan dan amal-amal shalih, karena itulah yang akan menemani kita menuju Allah untuk menggapai ridha dan surga-Nya.
Karena kita Muslim maka kita melakukan itu. Karena kita Muslim maka kita tidak boleh puas dengan amal yang sedikit. Ismail bin Najid, seorang sufi telah mengingatkan kita, “Bencana seorang hamba adalah jika ia telah merasa puas dari kebaikan yang dapat ia lakukan.” Dan barangkali inilah fitnah yang telah menimpa kita sehingga kita layak menangis. Ya, menangis karena kita telah kehilangan waktu-waktu yang amat berharga untuk melakukan ibadah yang banyak. Seperti kata Ahmad bin Abil Khiwari, “Menagislah, karena menangis yang palin utama adalah tangisan seorang hamba yang menyesali waktu-waktunya yang hilang tanpa ibadah.”

Mengokohkan Islam Dengan Menjalankan Perintah dan Kewajiban Kita

Islam ibarat bangunan kokoh yang senantiasa akan berdiri di bawah lindungan Allah swt, yang membuat kagum setiap orang yang ada di dalamnya dan membuat iri orang-orang yang ada di luarnya. Akan tetapi kekokohan Islam bukan berarti tidak bisa memudar jika kita sebagai penghuninya tidak kuasa menyanggah pilar-pilarnya, yang tak lain adalah kewajiban-kewajiban kita kepada Allah.
Orang-orang di luar sana tidak hanya iri melihat kemegahan bangunan Islam, tetapi juga menyimpan rasa dengki dan dendam, serta selalu berfikir bagaimana menghancurkan bangunan ini dan menistakan para penghuninya. Kemurnian akidah dan kekuatan ibadah kitalah yang akan membentengi bangunan itu dan seisinya dari serbuan orang-orang dengki seperti mereka.
Sejarah telah mengisahkan kepada kita bahwa begitu perkasanya kaum Muslimin ketika mereka bersama Allah. Ketika Cyprus berhasil ditaklukkan umat Islam, misalnya, Abu Abdirrahman melihat Abu Darda’ duduk sambil menangis. Ia bertanya, “Wahai Abu Darda’! Apa yang membuatmu menangis pada saat Allah memuliakan Islam dan kaum Muslimin?” Abu Darda’ menjawab, “Betapa lemahnya manusia di hadapan Allah Azza wa jalla bila mereka tidak tunduk kepada perintah-Nya. Sebelumnya mereka (Cyprus) adalah bangsa yang kuat dan memiliki kekuasaan yang luas. Tetapi karena mereka meninggalkan perintah Allah, maka jadilah mereka seperti yang kalian lihat sekarang.” Abu Darda’seperti mengingatkan kita agar tidak seperti bangsa Cyprus yang hancur karena menjauh dari Allah swt.
Sebuah pengakuan tulus dari musuh-musuh Islam dari negeri imperium Romawi ketika mereka ditaklukan jeritan Islam. Hercules, sang pemimpin Romawi setelah pasukannya dihancurkan oleh umat Islam, ia berbicara lantang kepada para komandan tentaranya, “Celaka kalian! Bukankah mereka adalah manusia seperti kalian, dan bukankah jumlah dan persenjataan mereka jauh lebih sedikit?” para prajuritnya diam membisu.
Kemudian salah seorang komandan memberanikan diri berbicara, “Wahai Raja, mereka menang dan kita kalah karena mereka selalu bangun di malam hari, berpuasa di siang hari, menepati janji, memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar. Sedangkan kita sibuk minum khamar, berzina, tidak menepati janji, berbuat zhalim, mencegah yang diridhai Tuhan dan berbuat kerusakan di muka bumi. Karena itulah kita kalah dan mereka menang.”
Ada banyak penguasa dunia yang Allah hancurkan bukan karena kehebatan pasukan dan lengkapnya persenjataan kaum Muslimin. Tetapi dengan orang-orang Islam yang lapar, tidak bersepatu dan jumlahnya sangat sedikit. Yaitu tatkala mereka jujur dan memperbaiki hubungannya dengan Allah dan membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi. Tatkala mereka yakin bahwa Allah adalah penolong agama-Nya, yang meninggikan kalimah-Nya, dan yang memeuliakan tentara-Nya, maka Islam akan tetap berdiri kokoh sampai kapanpun.
Yahya bin Mua’dz Ar Razi berkata, “Kehilangan kebaikan adalah lebih berat dari kematian, karena kehilangan kebaikan berarti terputus dari kebenaran, sedangkan kematian hanya terputus dari tubuh.”
Ismail bin Najid berkata, “Barang siapa yang meninggalkan suatu kewajiban yang diwajibkan Allah dalam suatu waktu, maka dia diharamkan untuk merasakan kelezatan kewajiban itu walaupun ia sudah melakukannya.”

Harus Lebih Baik Dari Yang Lain

Siapapun tidak bisa memungkiri, bahwa kedatangan Islam lima belas abad yang lalu telah menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Saat itu, kebodohan meraja lela, penindasan dan pertumpahan darah terjadi di mana-mana. Hampir tidak ada wilayah yang tidak dilanda konflik. Namun hanya beberapa tahun kemudian, dengan Islam bangsa Arab telah berubah menjadi bangsa yang maju. Seemenanjung Arab menjadi kiblat dunia dalam perekonomian, peradaban dan ilmu pengetahuan.
Dua abad kemudian, tepatnya pada abad kedelapan, peradaban Islam benar-benar telah memimpin dunia. Gustve Le Bon mengatakan, “Bagdad dan Kordoba, merupakan dua kota besar Islam yang merupakan pusat peradaban manusia yang menerangi dan mengguncang seluruh dunia dengan masa keemasan mereka.”
Jacques C Rieler pun menulis, bahwa Islam telah mendominasi dunia dengan kekuatan, ilmu dan peradaban yang tinggi selama 500 tahun. Warisan harta, ilmu pengetahuan, dan filosofi Islam berpindah tempat menuju Eropa barat setelah memiliki kejayaan-kejayaan. Pusatnya adalah Baitul Hikmah yang merupakan gudang ilmu pengetahuan yang didirikan Khalifah Al Makmun di Bagdad.
Mereka mencapai kejayaan itu bukan karena mereka orang Arab, tetapi karena mereka Muslim yang mengamalkan ajaran agamanya, yang melakukan revolusi pemikiran melalui petunjuk Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Citra kemajuan sangat lekat dengan mereka.
Akan tetapi, hari ini kita harus mengakui bahwa kaum Muslimin begitu sangat tertinggal dalam bidang apa saja, jauh di belakang umat-umat yang dahulu datang berguru pada mereka. Citra burukpun akhirnya jadi stempel yang tak terhapuskan dari diri mereka, di mana saja mereka berada. Kemiskinan, kebodohan, kekejaman dan terorisme, korupsi dan segala bentuk penyelewengan adalah tuduhan yang sulit dielakkan walaupun tidak sepenuhnya benar.
Mereka yang kini tertinggal itu, adalah kita yang menyandang gelar Muslim. Sebagai generasi penerus, tidak ada yang mengharuskan kita untuk mengembalikan kejayaan masa lalu dan kembali mengasai dunia kecuali karena kita Muslim; pewaris sah bumi ini dan segala isinya (QS.Al Anbiya’ : 105) Misi kita adalah menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh penduduk bumi ini. Sebab, tidak mungkin kedamaian akan tercipta di muka bumi ini selagi kepemimpinan bukan di tangan orang-orang yang berserah diri kepada Allah sw. Meishio, sejujurnya mengakui hal itu dalam bukunya Sejarah Perang Salib, “Ketika Khalifah Umar bin Khattab menaklukkan Yerusalem, dia tidak mengusik kaum Nasrani sedikitpun. Tetapi setelah kaum Nasrani menaklukkan kota itu, mereka membunuh kaum muslimin tanpa rasa kasih sayang dan membakar orang-orang Yahudi secara besar-besaran.”
Mulai saat ini kita harus bertekad untuk menjadi yang terbaik, memimpin dunia atas dasar Islam. Sekali lagi karena kita Muslim. Namun cita-cita itu tentu tidak akan terwujud jika kita tidak sanggup mengubah sikap zhahir hidup kita saat ini, yang tida sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Sebab, kata Ahmad Ad Dinawari, “Sikap zhahir tidak bisa mengubah pernyataan batin.”

Menjaga dan Memuliakan Simbol-simbol Kesucian Islam

Menjadi Muslim berarti dengan sabar kita telah mendeklarasikan kepada dunia dan seisinya bahwa Islam adalah jalan hidup dan identitas kita. Ibarat sebuah negara, Islam adalah tanah tumpah darah kita yang senantiasa harus kita banggakan dan harus kita bela harkat dan martabatnya. Simbol-simbol kebanggaan negara ini, seperti dasar negara, lambang dan benderanya haruslah dijunjung tinggi setiap warga negara, dijaga dan dibela dari tindakan pelecehan dan penghinaan oleh negara lain yang bermaksud merendahkannya. Seperti dan bahkan harus lebih heroik ketika kita harus membela simbol-simbol kesucian Islam dinistakan.
Agama Islam dan para pemeluknya, seperti yang digambarkan Rasulullah saw, serbuan musuh ke arahnya lebih dahsyat dari kondisi sebuah negara terjajah sekalipun, karena menurut beliau umat Islam akan seperti hidangan di atas meja makan. Semua manusia dari segala penjuru akan bersatu untuk memangsa dan menghabisinya. Musuh-musuh mereka akan melakukan penistaan apa saja yang menjadi simbol-silmbol kesuciannya.
Hari ini kita menyaksikan dengan mata kepala kita bagaimana penistaan itu terjadi di mana-mana, yang kian hari kian mengganas. BerBertahun-tahun bangsa Israel dengan pongahnya berusaha untuk menghilangkan Masjid Al Aqsha dari atas bumi Palestina. Berkali-kali mereka melakukan penggalian bawah tanah, melempar granat dan membakar dinding masjid suci yang pernah menjadi kiblat pertama kaum Muslimin itu.
Belum selesai kebiadaban itu, muncul kebiadaban baru yang lebih hebat. Tentara Amerika Serikat melemparkan Al Qur’an ke dalam WC, di penjara Guantanamo. Ini sungguh perbuatan yang maha biadab, memperlakukan kalam Allah swt lebih hina dari sampah. Seorang mantan tahanan dari Afghanistan mengakui bahwa ia menyaksikan pelecehan seperti itu selama tiga tahun di penjara.
Pelecehan terhadap simbol-simbol kesucian Islam mungkin tidak menyebabkan luka di fisik kita, kecuali mereka yang ikut disiksa di dalam tahanan itu. Tetapi ketahuilah bahwa itu ujian terhadap kebenaran Islam dan kekuatan iman yang ada dalam hati kita. Sebab, itulah harga diri kita sebenarnya sebagai seorang manusia yang berserah diri kepada Allah. Jika di dalam hati kita tidak ada rasa penolakan terhadap perlakuan mereka, maka sesungguhnya kebaikan yang ada dalam Islam telah lama meninggalkan kita, dan kita pantas bersedih untuk itu.@

Sumber : Majalah Tarbawi edisi 111 Th7/23 Juni 2005